Paris, Mei 1968.
Ketika revolusi
mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo seorang eksil politik Indonesia
bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi
melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari
Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas.
Dimas merasa cemas dan gamang. Bersama puluhan wartawan dan seniman lain, dia
tak bisa kembali ke Jakarta karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia.
Sejak itu mereka mengelana tanpa status yang jelas dari Santiago ke Havana, ke
Peking dan akhirnya mendarat di tanah Eropa untuk mendapatkan suaka dan menetap
di sana.
Di tengah kesibukan
mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya: Nug, Tjai, dan
Risjaf—mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air—Dimas, terus-menerus
dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang,
dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30
September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang
bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.
Pulang, Leila S. Chudori
***
Bagaimana
menjabarkan novel ini ya? Halaman pertama novel ini sudah mengusik saya sampai
ubun-ubun. Kata-kata tentang "bibir" itu juga menyenangkan.
Ya,
seperti yang diketahui, novel ini dibagi menjadi tiga bagian: Dimas Suryo,
Lintang Utara, dan Segara Alam.
Pada
bagian "Dimas Suryo", tentu tokoh sentralnya adalah Dimas.
Dengan setting yang
sebenarnya tak terlalu banyak tempelan nama-nama tempat, bagi saya Mbak Leila
(sok kenal ye!) mampu menyihir otak saya. Entah. Saya seperti dimasukkan ke
dalam sebuah novel perjuangan macam karya Andrea, Fuadi, atau Dhirgantoro.
Meski di sini kepelikan lebih ada. Namun, komposisinya bagi saya sangat pas
(emangnya makanan!)
Lalu, saya
sangat menyukai bagian "Lintang Utara", dengan tokoh sentral
kebanyakan tentu pada Lintang, namun kadang juga pada Vivienne, Maman-nya
Lintang. Atau bahkan menjadi sudut pandang ketiga. Tentang le coup de foudre, tentang
cinta tak bersyarat, tentang kisah kelam dan berdarah. Entahlah semuanya pas,
tepat, dan bulat. Tetapi, di kisah ini, penulisan Mbak Leila entah mengapa
mengingatkan saya pada tulisan Jodi Picoult yang banyak konflik yang buat
jengkel tapi tidak membuatmu kesal dan menaruh buku. Bagaimana ya,
menjabarkannya.. intinya, saya makin menyukai novel ini pada bagian ini.
Beranjak
ke bagian "Segara Alam", hal ini mungkin akan banyak kepada Alam.
Alam yang jatuh cinta di usia ke-33 pada Lintang. Lintang yang memulai
mengerjakan tugasnya untuk menemukan kepingan-kepingan masa lalu dan masa-masa
kekelaman di era ayahnya remaja. Semuanya kompleks. Tapi tidak memberatkan
orang-orang yang membacanya. Saya jadi ingat Einsten yang kalau tidak salah
mengatakan bahwa guru yang hebat adalah yang dapat menjabarkan sesuatu dengan
mudah bagi muridnya. Dan Mbak Leila, dengan materi seberat ini, mampu membuat
saya yang tak terlalu mengerti karya-karya berat mengerti apa isi novel ini.
Semua
unsur di novel ini saya suka. Bahkan mungkin, ini adalah novel terfavorit saya
pada tahun 2013. Susah untuk menggeser predikat tersebut pada novel
"Pulang" ini. Betapa... Ah, mungkin lagi-lagi ini juga masalah selera
ya. Yang jelas saya jatuh cinta dengan ramuan konflik novel ini. Cinta, persahabatan,
teror, peristiwa tragis, kekejian negara, dan mungkin banyak aspek yang ter-skip oleh saya. Semuanya
menyenangkan. Semuanya adiktif bagi otak dan mata saya. Setting-nya gak ada yang bisa
buat overdosis atau kekurangan. Semuanya PAS. Indonesia 30 September 1965 (kay, you named it with PKI after that
words), Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.
Salah
satu quote favorit
saya di novel ini terletak di Epilog. Pada surat Dimas Suryo kepada Lintang
Utara:
"...kau
tak boleh menyeret-nyeret nasib dan perasaan orang hingga hati orang itu
tercecer kemana-mana. Kau harus berani memilih dengan resikonya."
Ah, saya
juga jatuh cinta dengan tokoh Andini. Semoga saja Mbak Leila membuat cerita
khusus tentang tokoh ini. Ah, saya suka sekali novel ini!
Dengan
bangganya, saya membulatkan lima dari lima bintang untuk novel ini.